" KAMI PULANG "
BAPAK M.NATSIR BERSAMA ROMBONGAN TURUN DARI HUTAN,
SEPTEMBER 1961
karya:
H.M.S. DT TANKABASARAN
d\a M.S TK SULEMAN
Bismillahirrahmanirrohim
Setelah
± 2 tahun P.R.R.I sesudah proklamasi Republik Persatuan Indonesia (RPI) bulan
januari 1960, bapak M.Natsir mengambil tempat dinegeri Sitalang, ujung utara Kecamatan
Lubuk Basung, Kab.Agam, beliau ditempatkan oleh pimpinan Masyumi Ranting
Sitalang ditengah hutan Bukik Bulek, antara Sitalang dengan Kayu Pasak,
Kecamatan Palembayan.
Kesetiaan
keluarga Masyumi yang diawali dengan ketaatan kepada pemimpin untuk tidak
membuka mulut dan bersedia untuk bersikap tidak tahu, menjadi jaminan.
Hanya beberapa orang saja yang
ditugasi berulang keatas Bukik Bulek, Syair st. Ma’ruf (ketua), Tuanku Maruhun,
Abd. Aziz (Ansih) Jabar Dt. Marajo, dan M.Syarif kesemuanya orang parimbo.
Delapan bulan bapak M.Natsir dan
keluarga disana, dengan tidak kurang suatuapa, sampai tentara Soekarno
menduduki Tiga Koto Sitalang
Seandainya
tercium oleh tentara Soekarno bahwa bapak M.Natsir disana yang jauhnya dari
kampung dua jam jalan kaki, pasti pada hari kedua tempat itu dikepung dan bapak
M.Natsir ditangkap.
Sesudah empat hari Sitalang
diduduki, Tuanku Maruhun tidak tenang lagi, langsung beliau bawa ke Kayu Pasak
diujung kecamatan Palembayan dengan obor ditangan masing-masing dengan petunjuk
kolonel Dahlan Jambek dan kami beristirahat didusun Maur dibelakang Kayu Pasak.
Setelah seminggu disana terdengar
tentara Soekarno turun dari Palembayan maka dengan petunjuk Syaki dan Dt.
Langik tokoh Masyumi Palembayan yang menjabat wali nagari Tantaman.
Rombongan bapak M. Natsir dibawa
kehutan Masang, menyebarang Batang Masang mengambil tempat di Batang Tanga, di
tengah hutan Masang antara Tantaman/Silungkang Kec. Palembayan, Air Kijang Kec.
Palupuh/ Tilatang Kamang dan dusun Lungguk Batu kenagarian Kumpulan Kec.
Bonjol.
Ketiga nagari atau desa ini sudah dibina lebih dahulu, Tantaman/Silungkang oleh Syaki dan Dt.Langik dan kawan-kawan, Air Kijang oleh saudara Masri dan kawan-kawan, dan Lungguk Batu oleh A. Sani Ummar Dt. Tumanggung wali nagari Kumpulan dan kawan-kawan.
Ketiga nagari atau desa ini sudah dibina lebih dahulu, Tantaman/Silungkang oleh Syaki dan Dt.Langik dan kawan-kawan, Air Kijang oleh saudara Masri dan kawan-kawan, dan Lungguk Batu oleh A. Sani Ummar Dt. Tumanggung wali nagari Kumpulan dan kawan-kawan.
Sebelas bulan lamanya rombongan
bapak M. Natsir ditempat ini dengan perbekalan yang datang dari ketiga desa
ini, sedang bapak kolonel Dahlan Jambek mengambil tempat didesa Laring sebelah
timur Air Kijang.
Setelah ketua dewan perjuangan kolonel
Ahmat Hussein mengatakan menghentikan perlawanan pada bulan
juni 1961 dan turun dari hutan didaerah selatan Sumatra Barat, dan bapak mister
Syafrudin Prawira Negara selaku presiden republik persatuan Indonesia beserta
anggota kabinet lainnya termasuk bapak mister Burhanuddin Harahab, dan bapak
mister Assaat dan rombongan turun didaerah Tapanuli Selatan, maka bapak M. Natsir
mentri PdK dan Agama, yang berada dihutan Silungkang Palembayan, kontak dengan
bapak kolonel Dahlan Jambek, yang berada di Laring sebelah timur Sipisang,
untuk mengambil langkah sesuai dengan yang telah dilakukan presiden dan anggota
Kabinet lainnya.
Bapak M. Natsir sudah merasa bahwa
telah datang saatnya untuk turun dari hutan, tinggal waktu dan cara yang baik.
Cara itu ialah dengan mendahulukan
rombongan dan keluarga, sedang bapak M. Natsir dengan beberapa orang
dikemudiankan dan dengan memilih tempat yang baik.
Pada tanggal 7 September 1961, turunlah
rombongan penghuni hutan Silungkang (kepala sawah-sawah dan Batang Tanga)
termasuk Ummi dan anak-anak bapak M. Natsir dipimpin oleh Engku Syaki dan Dt. Langik
wali nagari Tigo Koto merangkap camat Palembanyan turun kedaerah Tantaman.
Sedangkan bapak M. Natsir dengan
rombongan terdiri dari Bukhori Tamam, Tasman Mansur, M. Said Tk. Suleman,
Masri, Ridwan, dan Lahmuddin berpindah tempat dari hutan Batang Tanga, menyeberang Batang
Sianok ketepi Air Kijang lebih kurang satu jam perjalanan kaki dari jalan raya
Air Kijang suatu tempat yang sudah disediakan oleh saudara Masri dipinggir
Batang Sianok. Sebelum rombongan meninggalkan Batang Tanga, datang kurir bapak
Dahlan Jambek membawa surat untuk bapak M. Natsir yang menyatakan bahwa
keputusannya bahwa beliau tidak akan turun dengan menyerah, akan tetapi beliau
akan mengalihkan perjuangan dengan cara lain, beliau ingin ditangkap dimasukkan
kedalam penjara dan selanjutnya diadakan sidang pengadilan.
Sehari sesudah rombongan kami sampai ditepi Batang Sianok bapak M. Natsir mengirim saudara Masri menemui kolonel Dahlan Jambek dengan surat yang isinya supaya bapak Dahlan Jambek mengundurkan dulu maksudnya dan jangan dulu dikirim surat kepada panglima di Padang sampai bertemu dulu untuk diperkatakan lebih jauh.
Sehari sesudah rombongan kami sampai ditepi Batang Sianok bapak M. Natsir mengirim saudara Masri menemui kolonel Dahlan Jambek dengan surat yang isinya supaya bapak Dahlan Jambek mengundurkan dulu maksudnya dan jangan dulu dikirim surat kepada panglima di Padang sampai bertemu dulu untuk diperkatakan lebih jauh.
Sesampai dipos penjagaan desa Laring,
lebih kurang setengah jam perjalanan menjelang tempat bapak Dahlan Jambek,
sudara Masri disuruh pengawal menunggu karena ditempat bapak Dahlan Jambek
sedang ada tamu.
Setelah tamu
itu kembali yaitu saudara Letnan Jamaan Salim dan saudara Lukman dari brimob, Keduanya
adalah kemenakan bapak Dahlan Jambek. Setelah sampai ditempat pengawalan, maka
saudara Masri dipersilakan terus, dan Jamaan Salim cs, meneruskan perjalanan ke
Bukittinggi dengan membawa surat dari bapak Dahlan Jambek, untuk panglima di Padang
dan tembusannya untuk komandan Korem 032/ Wirabraja di Bukittinggi.
Jarak antara penjagaan dengan jalan
raya Air Kijang sama dengan jarak ketempat bapak Dahlan Jambek yaitu setengah
jam perjalanan, berarti disaat saudara Masri sampai ditempat bapak Dahlan
Jambek, saudara Jamaan Salim sudah sampai dijalan raya untuk naik mobil ke Bukittinggi.
Setelah surat bapak M. Natsir
disampaikan dan dibaca, bapak Dahlan Jambek mengatakan, tidak mungkin lagi
karena surat saya sudah dibawa tadi oleh Jamaan Salim yang saya suruh datang bersama
Lukman untuk mengantarkannya kepada panglima dan komandan korem.
Walaupun ketika itu dikejar kembali tidak
mungkin lagi, karena untuk memburu kejalan raya harus satu jam perjalanan dan
saudara Jamaan sudah naik mobil ke Bukittinggi.
Malamnya
bapak Dahlan Jambek datang ketempat kami dan bicara dengan bapak M. Natsir,
kepada beliau oleh bapak M. Natsir menganjurkan bagaimana kalau keputusan
beliau itu ditinjau kembali.
Dan beliau jawab “ tidak mungkin lagi, karena surat saya sudah saya sampaikan dan surat itu harus saya penuhi, kalau tidak saya penuhi akan berbahaya kepada bapak dan rombongan. Tenangkanlah hati bapak, kami perwira ini sportif, insayaAllah saya akan selamat sampai dipenjara di Bukittinggi ”.
Dan beliau jawab “ tidak mungkin lagi, karena surat saya sudah saya sampaikan dan surat itu harus saya penuhi, kalau tidak saya penuhi akan berbahaya kepada bapak dan rombongan. Tenangkanlah hati bapak, kami perwira ini sportif, insayaAllah saya akan selamat sampai dipenjara di Bukittinggi ”.
Pertemuan ini berlanjut sampai dekat
subuh, ± jam 3.30 dini hari bapak Dahlan Jambek pamit dan waktu bersalaman
dengan bapak M. Natsir beliau menangis sedu sedan tidak kurang 15 menit, baru beliau
lepaskan tangan bapak M. Natsir dan beliau berangkat bersama Yusaki pengiring
beliau.
Pada tanggal 11 september 1961,
datang saudara Djanamar Adjam dari Jakarta yang kebetulan pulang ke Bukittinggi,
kerena dapat informasi di Bukittinggi bahwa kami dekat dan ada teman yang
mengantarkan maka dia berhasrat untuk ikut merasakan dihutan walaupun sehari.
Sempat saudara Djanamar Adjam sehari
dan dua kali makan dengan kami dipondok menikmati sayur umbut batang langkok,
dan mengambil foto dikomplek pondok dan ditepi Batang Sianok. Akan tetapi
bermalam dikampung Aia Kijang untuk dapat menunggu mobil ke Bukittinggi.
Malam itu sesudah isya dilaporkan
kepada kami bahwa tadi si Gandi dengan pasukannya satu regu kombat datang dari
Bukittinggi, terus ke Kumpulan dan berhenti sebentar di Aia Kijang dekat jalan
masuk ke Laring.
Besoknya tanggal 12 september 1961
jam 7.00 pagi kami terima laporan kedua, bahwa subuh tadi bapak Kolonel Dahlan
Jambek bersama pembantunya Yusaki telah ditembak oleh pasukan yang dibawa oleh
si Gandi.
Pagi itu saudara Djanamar Adjam jika
tidak dapat naik mobil pertama, tentu akan semobil dengan rombongan Gandi yang
berangkat ke Bukittinggi dengan mobil kedua.
Dari seorang pemuda Laring yang
selalu mendampingi bapak Dahlan Jambek, ditempatnya kami dapat bercerita bahwa
setiap malam sesudah bapak Dahlan Jambek mengirim surat kepada panglima di Padang
dan tembusan kepada komandan korem 032/Wirabraja di Bukittinggi, beliau suruh
tinggalkan sesudah tengah malam dengan pesan “tinggalkanlah kami dan jangan disembunyikan kepada siapapun, karena
kami ingin ditangkap untuk diteruskan kedalam penjara. Kalau kami sudah dibawa
adzanlah kalian dan doakan mudah-mudahan perjuangan kami berhasil”.
“Pada pagi peristiwa itu terjadi,
bapak Dahlan Jambek sesudah shalat subuh turun kehalaman dan langsung
diberondong dengan tembakan sehingga jatuh, dan demikian pula dengan Yusaki. Karena
pesan beliau bahwa beliau hanya akan ditangkap dan tidak akan ditembak, kami
kira tembakan-tembakan itu hanya sekedar provokasi, kami keluar rumah untuk
melepas bapak Dahlan Jambek dibawa. Akan tetapi, kami
lihat beliau terkapar dan tidak bergerak, kami kembali kerumah masing-masing
sampai rombongan penembak meninggalkan kampung kami. Setelah mereka pergi,
kami keluar dan mengambil jenazah beliau segera, dan segera pula kami
melaksanakan pemakamannya. Kami dapati semua barang-barang beliau dibawa
penembak, tiada yang tinggal kecuali pakaian yang melekat dibadan, yaitu
pakaian dalam dan sehelai kain sarung, semua kami kuburkan kecuali kain sarung
yang kami simpan untuk peringatan”, Kata pemuda itu.
Tiga hari setelah bapak Dahlan Jambek
pergi, datang surat dari bapak kolonel Syarif Usman mengatakan “ bila bapak M. Natsir
akan turun, harap memberi tahu kapan akan turun dan dimana turun supaya dapat
kami atur penyambutannya”. Surat ini kami baca bersama-sama, spontan bapak M.Natsir
mengatkan “tidak, kita tidak akan memberitahu kapan kita akan turun dan dimana
turun, sebab:
1. Kalau kita
beritahu dan dapat tercium oleh musuh, itu bapak Dahlan Jambek sudah jadi
pelajaran bagi kita, kita akan binasa semua.
2. jika kita
selamat sampai dikota, dan disambut sebagai yang dikatakan Syarif Usman ini,
apa kata orang yang bapaknya, anaknya, adiknya, kakaknya tidak kembali? Kita
tidak boleh menyinggung perasaan meraka.
Kita
benar akan turun, tapi orang boleh tahu kita turun bila kita sudah Sampai
dikota. Dimulailah merencanakan dimana kita akan turun. Ada fikiran untuk
berjalan panjang dulu ke utara, dan turun dekat tempat turun bapak mister
Syafrudin Prawira Negara. Cara ini terlalu berat, sebab tidak mungkin kita akan
dapat bantuan dan petunjuk jalan, sebab semua orang sudah turun. Tinggal lagi
dua alternatif, ke Palupuh atau ke Palembayan.
Ke Palupuh terlalu jauh jaraknya
dengan pos pertama, dan amat kemungkinan berbahaya ditengah jalan, apalagi
daerah ini sudah menjadi incaran kelompok si Gandi. Akantetapi ke Palembayan pos
pertama adalah Tantaman, didaerah ini banyak kawan-kawan kita yang baru turun
yang akan segera tahu bahwa kita sudah turun. Akhirnya ditetapkan turun ke
Tantaman, tinggal lagi kapan akan turun, sementara kita masih bekerja antara
lain membuat laporan tentang korbannya bapak kol.Dahlan Jambek.
Pada tanggal 19 september 1961
malam, datang Mak Nankodoh seorang tua penghubung didesa Kumpulan (Lungguk
Batu) mengatakan “Bapak harus segera berangkat dari sini, tadi anak buah si Gandi
mengatakan di Kumpulan (Lungguk Batu), “Dahlan Jambek sudah kami bunuh, nanti
Natsir lagi, kami sudah tahu tempatnya, tidak jauh dari sini”. Maka kami
tetapkan berangkat besok pagi tanggal 20 september 1961.
Tanggal 20 september 1961 sesudah sarapan pagi, kami berangkat meninggalkan pondok dan menyeberang Batang Sianok menuju daerah Tantaman, kec. Palembayan. sewaktu menyeberang air yang cukup deras itu, dengan mengunakan kalo-kalo(sehelai rotan manau yang di bentangkan diatas air) untuk tempat berpegang, lepas pegangan tangan bapak M. Natsir sehingga beliau harus berenang melawan arus, segera Masri dan Lahmuddin melompat dan membawa beliau keseberang.
Tanggal 20 september 1961 sesudah sarapan pagi, kami berangkat meninggalkan pondok dan menyeberang Batang Sianok menuju daerah Tantaman, kec. Palembayan. sewaktu menyeberang air yang cukup deras itu, dengan mengunakan kalo-kalo(sehelai rotan manau yang di bentangkan diatas air) untuk tempat berpegang, lepas pegangan tangan bapak M. Natsir sehingga beliau harus berenang melawan arus, segera Masri dan Lahmuddin melompat dan membawa beliau keseberang.
Oleh karena
bapak M. Natsir lelah sekali karena terjatuh dan terpaksa berenang melawan arus
tadi, terpaksa kami istirahat agak lama diatas bukit kira-kira sampai dua jam,
untuk memulihkan tenaga beliau.
Setalah kami
berangkat Mak Nankodoh datang lagi men-cek apa kami sudah berangkat atau masih
disana. Karena didapatinya sudah kosong dan dalam keadaan tidak porak-poranda
dan dapur masih panas, yakinlah dia bahwa kami berangkat dengan baik, senanglah
hatinya dan kembali pulang. Hal ini dikatakan nya ketika ke Bukittinggi yang
pertama sekali sesudah itu.
Dari bukit itu kami berangkat menuju
Tantaman, tempat yang selama ini kami jadikan sebagai tempat
pertemuan-pertemuan bila ada hal-hal yang perlu, baik diantara kami yang
bertempat tinggal berbeda-beda dihutan Silungkang itu, maupun antara kami
dengan teman-teman yang berada dikampung Tantaman dan Silungkang, dinamai tempat
ini “Patamuan” karena tempat ini adalah pertemuan dua anak sugai.
Sesudah shalat zuhur dan makan
siang, kami berangkat lagi menuju Lubuk Gadang, suatu dusun perladangan daerah
Tantaman. Kami sampai disana jam empat sore dan mendapati seseorang habis
shalat ashar sesudah bekerja disawah. Orang itu kami tahan dulu, dan minta
tolong membawa surat kami kepada komandan pos di Pakan Kamis (Tantaman) dan
kepada Engku Datuak Iangik. Setelah selesai mandi dan tukar pakaian, kami
berikan surat kepada orang itu, pertama kepada komandan pos yang mengatakan
bahwa kami tujuh orang rombongan dari kementrian Agama dan P dan K republik
persatuan indonesia, akan turun dibawah pimpinan Bukhari Tamam, dan kedua
kepada Datuak langik kami
memberitahukan bahwa kami turun dan tolong kirim utusan kepada keluarga di Bukittinggi
untuk memberitahu.
Dari jarak ±100M kami iringkan orang
itu sampai ke Pakan Kamis. Begitu tentara pos keluar untuk menjemput kami
sesudah mengirim surat, kami telah sampai di pintu pasar (pintu
lokasi pos) berarti kami sudah berada di hadapan mata orang banyak. Langsung
kami dibawa dan disuruh duduk di los Pakan Kamis,
sedangkan kepala rombongan Engku Bukhari Tamam di persilakan masuk ke
tempat komandan.
Rupanya kepala rombongan dilayani
dengan baik, diberi minum, sedangkan yang lain dibiarkan saja duduk dipelanta
los, sehingga Bukhari tidak tega dan segera memberitahu kepada komandan pos
bahwa orang tua berkaca mata itu adalah bapak M. Natsir.
Komandan pos
itu seorang Kopral yang sudah berumur juga, berasal dari Jawa. Spontan dia
menyatakan kepada bapak M. Natsir “ pak, saya dulu pernah menjadi pengawal
bapak, waktu bapak jadi Mentri Penerangan di Jogya, sesudah itu sekaranglah baru
saya bertemu dengan bapak”.
Katanya lagi selanjutnya “ aduh pak,
yang paling syukur sekarang ini adalah saya, hampir saja tangan saya ini
berlumuran darah bapak dan rombongan. Tadi kami patroli ke Lubuk Gadang jam 1
sampai jam 2, dengan surat perintah harus menembak siapa saja yang keluar dari
hutan tanpa ditanya, dan sebentar lagi jam 6 kami kembali patroli kesana degan
perintah yang sama. “Dan Kalau saja bapak sampai di Lubuk Gadang antara jam 1
dan jam 2, tentulah bapak tidak ada lagi sekarang, saya bersyukur pak” katanya
lagi.
Rupanya inilah hikmah Bapak M. Natsir
jatuh dari kalo-kalo waktu menyeberang Batang Sianok tadi, sehingga kami harus
istirahat sampai 2 jam untuk memulihkan tenaga bapak. Sehingga kami baru sampai
di Lubuk Gadang jam empat setelah patroli yang akan membawa maut telah kembali
kedalam pos nya.
Benarlah
firman Allah dalam QS. Ath Talaq : 2 dan 3 :
“barang siapa yang
bertaqwa kepada Allah niscaya dia (Allah) akan mengadakan baginya jalan keluar,
dan memberinya rezki dari arah yang tiada di sangka-sangka.”
Penyerahan
diri kami bulat-bulat kepeda Allah, dan niat baik dalam jihad karena Allah
melepaskan kami dari bahaya dengan menjatuhkan bapak di kalo-kalo.
Ketika
itu kami ingat cerita Lukman Hakim yang
akan berangkat kesatu negri, tapi terhalang karena anaknya jatuh ditangga dan
patah tangannya. Kalau tidak terhalang dan sampai kenegri itu dia akan terlibat
dalam bahaya penyakit tha’un yang berjangkit disana.
Setelah
berbicara sekedarnya sambil minum kopi, kami dijemput dengan bis dari Palembayan
dan terus kekantor komandan sektor Palembayan.
Komandan
sektor pembantu Letnan ………….(asal Padang
Pajang ) menawarkan kepada bapak akan istirahat dulu disini atau terus ke
Bukittinggi, jawab bapak M. Natsir karena kami telah kemari tentu lebih baik
terus ke Bukittinggi, maka malam itu juga dengan mobil gas tentara, kami diantar
oleh Komandan Sektor ke Bukittinggi, dan sampai ke kantin batalion jam 11.30
malam langsung diserah terimakan kepada komandan piket pengawal pada malam itu,
dan kami dimasukkkan keruangan depan kantin / kantor batalion. Tidak lama
datang seorang sersan (kepala seksi I batalion) memeriksa barang-barang kami,
dan dengan kasar membentak-bentak tanpa bertanya dulu siapa rombongan ini,
segala buku-buku isi tas kami dibawanya, karena dalam tas kami juga didapati
kain-kain yang baik, dia berkata “dimana kalian curi ini semua, mana ada dalam
hutan kain-kain yang seperti ini”. Kami diam sehingga dia berhenti bicara dan
pergi dengan angkuhnya. Segala perlakuannya itu dilihat dan diperhatikan oleh
pengawal dengan geram yang tahu siapa rombongan ini sesungguhnya.
Sesampai
dihalaman dibisikkan oleh pengawal kepada sersan itu bahwa rombongan ini adalah
rombongan bapak M. Natsir yang pernah jadi perdana mentri dulu. Rupanya timbul
penyesalannya, lebih kurang setengah jam sesudah itu dia kembali dengan nafas
sesak mengatakan “ bagaimana pak saya sudah keliling-keliling mencari kedai
makanan, tetapi sudah tutup semua, apakah saya boleh pergi ketempat ibu, saya
tahu tempatnya kalau-kalau ada yang dapat saya bawa.
Bapak
diam, segera saudara Tasman menjawab silahkan dia pergi, dan tidak sampai 1 jam
dia kembali lagi dengan menyandang sebuah kasur, menjinjing cerek dan sebuah
bungkusan. Katanya “Pak, ibu sudah tidur dan tidak mungkin masak lagi, hanya
ini yang dapat dikirim ibu”. Dengan berterima kasih kami terimalah kiriman Umi,
sebuah kasur tempat tidur bapak, secerek air minum yang sudah dingin, sesisir
pisang dan tujuh potong roti. Inilah reski kami malam itu dan kami makan
penyambung isi perut yang kami isi waktu zuhur tadi di Patamuan.
Walapun
segala dingin sekedar untuk penangkal lapar cukuplah kami nikmati tengah malam
itu. Waktu subuh kami sudah terbangun kembali, tetapi terpaksa shalat subuh
dengan tayamum karena pengawal tidak mau membuka pintu sebelum jam 6 pagi. Tepat
jam 6 pintu dibuka dan kami dipersilahkan untuk ke kamar mandi, WC dan kekantin
untuk minum pagi. Di kantin ini kami pertama kali serapan pagi dalam kota
sesudah 3,5 tahun
kami tinggalkan, kopi dan soto babat masakan Jawa.
tanggal 21 september 1961, Kira-kira jam 8 pagi
datang kapten Harmono komandan CPM dan sesudah bicara-bicara dengan bapak, maka
kami diantar ke tempat Umi di Jambu Air (rumah Mak Gafar St. Parpatih) dengan
ketentuan diberi istirahat tiga hari dan hari ke empat akan diproses sebagaimana
mestinya. Dari sini kami diberitahu kepada keluarga masing-masing dan mereka
berdatangan dari balingka, aur kuning, sungai buluh dan lain-lain. Dini hari
tanggal 22 september 1961 jam empat kurang, rumah kami diketok, yang datang
komandan CPM kapten Harmono menyatakan bahwa bapak Damanik bersama kapten Sitompul
dengan surat perintah dari bapak A.H. Nasution dan bapak Syafrudin Prawira
Negara, menjeput bapak kemari dan kami minta bapak datang kepenginapanya sekarag
juga untuk pemeriksaan selanjutnya.
Berangkatlah
bapak M. Natsir ditemani Tasman Mansyur dan Bukhari Tamam menemui bapak Damanik
dan kapten Sitompul di hotel Grand di Kampung Cina. Kepada bapak M.Natsir
dijelaskan oleh bapak Damanik dan kapten Sitompul, mereka diperintah untuk menjemput
bapak M.Natsir sekiranya sudah turun, dan kalau belum turun cari kehutan, untuk
itu dilengkapi satu pleton pasukan ABRI yang berasal dari Batalion Bonabolu (pasukan
RPI di tapanuli selatan) syukur pak Natsir sudah turun sehingga kami tidak
payah-payah masuk hutan. Dengan kedatangan bapak Damanik ini berobahlah rencana,
istirahat yang tadi diberikan tiga hari ditiadakan, sementara bapak Damanik dan
kapten Sitompul mengurus keberangkatan pak M. Natsir kepada panglima di Padang,
rombongan kami diperiksa sehari penuh dimarkas CPM jalan benteng Bukittinggi.
Masing-masing anggota rombongan diperiksa oleh seorang perwira CPM sedangkan
pak Natsir duduk santai saja dengan kapten Harmono.
Pemeriksaan
ini berakhir lebih kurang jam satu siang dengan berphoto bersama atas permintaan
bapak M. Natsir. karena masing-masing kami berphoto dari empat jurusan
sedangkan bapak tidak, maka beliau memprotes kepada kapten Harmono, kenapa
semua orang ini diphoto sedangkan saya tidak, apa kurang saya dari orang-orang
ini. Mendengar itu kapten Harmono minta kepada juru photo untuk membuat photo
bersama, Bapak dan kapten Harmono duduk ditengah, sedangkan rombongan dan tim
pemeriksa berbaris dibelakang, sayang photo itu tidak dapat kami lihat sampai
sekarang.
Besok
paginya tanggal 23 september 1961 jam 6 pagi, berangkatlah rombongan bapak
M.Natsir bersama Engku Bukhari Tamam, Tasman Mansur, dan Ridwan dengan tiga buah
mobil dari jambu air menuju Padang Sidempuan. Mobil pertama bapak M. Natsir
dengan bapak Damanik dan kapten Sitompul dengan bendera biru dan lampu
dinyalakan. Mobil kedua Engku Bhukari Tamam, Tasman Mansyur dan Ridwan, dan
mobil ketiga sebuah bus dengan satu pleton pasukan pengawal. Sedangkan kami (M.S.
Tk Suleman, Masri, dan Lahmuddin tinggal dijambu air bersama ummi dan
anak-anak). Dari jambu air jam 6 pagi tanpa sarapan rombongan melaju nonstop
dan dengan lampu besar yang dinyalakan sampai di Muara Sipongi. Sesampai di
Muara Sipongi, kapten Sitompul menstop kendaraan dan mengatakan “ disini bapak
silakan berhenti, makan, dan minum dulu, kita telah lepas dari daerah bahaya”.
Hari itu juga rombongan samapai di Padang Sidempuan, sedangkan kami bertiga
tinggal di Bukittinggi, dengan tugas pertama sebagai tepatan teman-teman yang
untuk ini kepada MS Tk Suleman disuruh mencari tempat dengan rencana
menggadaikan buku-buku, tapi pada hakikatnya tempat teman-teman basuo. Setelah
sepuluh hari kami dijambu air, dan bapak di Sidempuan datang utusan membawa
surat bapak dan titipan sebuah buku Capita Selecta jilid 2 untuk
disampaikan kepada kapten Harmono. Sampai hari itu kami belum pernah keluar
dari Jambu Air menjaga jangan terjadi hal-hal yang tidak dingini karena kami
belum diberi surat apapun.
Dengan membawa kiriman bapak M. Natsir itu, kami bertiga menghadap kapten Harmono dikantornya dijalan benteng. Kiriman bapak disambutnya dengan gembira dan rasa akrab dan minta kalau dapat dikirimi juga jilid satu.Kapten Harmono kaget sekali mendengar bahwa kami belum pernah keluar dari Jambu Air, walaupun rumah kami tidak jauh dari situ, karenanya ketika itu juga dia hubungkan kami dengan kodim supaya kami diberi surat keterangan agar kami tidak ragu-ragu pulang kerumah. Dengan mengantongi surat keterangan itu, masing-asing kami pulang kerumah masing-masing, Lahmuddin berangkat ke Sitalang dan Masri berangkat ke Air Kijang. Dan dengan itu berakhirlah masa uzlah total dan permulaan masa ber pirace.
Dengan membawa kiriman bapak M. Natsir itu, kami bertiga menghadap kapten Harmono dikantornya dijalan benteng. Kiriman bapak disambutnya dengan gembira dan rasa akrab dan minta kalau dapat dikirimi juga jilid satu.Kapten Harmono kaget sekali mendengar bahwa kami belum pernah keluar dari Jambu Air, walaupun rumah kami tidak jauh dari situ, karenanya ketika itu juga dia hubungkan kami dengan kodim supaya kami diberi surat keterangan agar kami tidak ragu-ragu pulang kerumah. Dengan mengantongi surat keterangan itu, masing-asing kami pulang kerumah masing-masing, Lahmuddin berangkat ke Sitalang dan Masri berangkat ke Air Kijang. Dan dengan itu berakhirlah masa uzlah total dan permulaan masa ber pirace.