Selasa, 01 Oktober 2013

Akhir Peristiwa P.R.R.I




" KAMI PULANG "

BAPAK M.NATSIR BERSAMA ROMBONGAN TURUN DARI HUTAN,

SEPTEMBER 1961

karya:
  H.M.S. DT TANKABASARAN 
d\a M.S TK SULEMAN

Bismillahirrahmanirrohim 
Setelah ± 2 tahun P.R.R.I sesudah proklamasi Republik Persatuan Indonesia (RPI) bulan januari 1960, bapak M.Natsir mengambil tempat dinegeri Sitalang, ujung utara Kecamatan Lubuk Basung, Kab.Agam, beliau ditempatkan oleh pimpinan Masyumi Ranting Sitalang ditengah hutan Bukik Bulek, antara Sitalang dengan Kayu Pasak, Kecamatan Palembayan.
         Kesetiaan keluarga Masyumi yang diawali dengan ketaatan kepada pemimpin untuk tidak membuka mulut dan bersedia untuk bersikap tidak tahu, menjadi jaminan.
          Hanya beberapa orang saja yang ditugasi berulang keatas Bukik Bulek, Syair st. Ma’ruf (ketua), Tuanku Maruhun, Abd. Aziz (Ansih) Jabar Dt. Marajo, dan M.Syarif kesemuanya orang parimbo.
       Delapan bulan bapak M.Natsir dan keluarga disana, dengan tidak kurang suatuapa, sampai tentara Soekarno menduduki Tiga Koto Sitalang
Seandainya tercium oleh tentara Soekarno bahwa bapak M.Natsir disana yang jauhnya dari kampung dua jam jalan kaki, pasti pada hari kedua tempat itu dikepung dan bapak M.Natsir ditangkap.
        Sesudah empat hari Sitalang diduduki, Tuanku Maruhun tidak tenang lagi, langsung beliau bawa ke Kayu Pasak diujung kecamatan Palembayan dengan obor ditangan masing-masing dengan petunjuk kolonel Dahlan Jambek dan kami beristirahat didusun Maur dibelakang Kayu Pasak.
       Setelah seminggu disana terdengar tentara Soekarno turun dari Palembayan maka dengan petunjuk Syaki dan Dt. Langik tokoh Masyumi Palembayan yang menjabat wali nagari Tantaman.
        Rombongan bapak M. Natsir dibawa kehutan Masang, menyebarang Batang Masang mengambil tempat di Batang Tanga, di tengah hutan Masang antara Tantaman/Silungkang Kec. Palembayan, Air Kijang Kec. Palupuh/ Tilatang Kamang dan dusun Lungguk Batu kenagarian Kumpulan Kec. Bonjol.
          Ketiga nagari atau desa ini sudah dibina lebih dahulu, Tantaman/Silungkang oleh Syaki dan Dt.Langik dan kawan-kawan, Air Kijang oleh saudara Masri dan kawan-kawan, dan Lungguk Batu oleh A. Sani Ummar Dt. Tumanggung wali nagari Kumpulan dan kawan-kawan.
           Sebelas bulan lamanya rombongan bapak M. Natsir ditempat ini dengan perbekalan yang datang dari ketiga desa ini, sedang bapak kolonel Dahlan Jambek mengambil tempat didesa Laring sebelah timur Air Kijang.
         Setelah ketua dewan perjuangan kolonel Ahmat Hussein mengatakan menghentikan perlawanan pada bulan juni 1961 dan turun dari hutan didaerah selatan Sumatra Barat, dan bapak mister Syafrudin Prawira Negara selaku presiden republik persatuan Indonesia beserta anggota kabinet lainnya termasuk bapak mister Burhanuddin Harahab, dan bapak mister Assaat dan rombongan turun didaerah Tapanuli Selatan, maka bapak M. Natsir mentri PdK dan Agama, yang berada dihutan Silungkang Palembayan, kontak dengan bapak kolonel Dahlan Jambek, yang berada di Laring sebelah timur Sipisang, untuk mengambil langkah sesuai dengan yang telah dilakukan presiden dan anggota Kabinet lainnya.
            Bapak M. Natsir sudah merasa bahwa telah datang saatnya untuk turun dari hutan, tinggal waktu dan cara yang baik.
       Cara itu ialah dengan mendahulukan rombongan dan keluarga, sedang bapak M. Natsir dengan beberapa orang dikemudiankan dan dengan memilih tempat yang baik.
         Pada tanggal 7 September 1961, turunlah rombongan penghuni hutan Silungkang (kepala sawah-sawah dan Batang Tanga) termasuk Ummi dan anak-anak bapak M. Natsir dipimpin oleh Engku Syaki dan Dt. Langik wali nagari Tigo Koto merangkap camat Palembanyan turun kedaerah Tantaman.
         Sedangkan bapak M. Natsir dengan rombongan terdiri dari Bukhori Tamam, Tasman Mansur, M. Said Tk. Suleman, Masri, Ridwan, dan Lahmuddin berpindah tempat dari hutan Batang Tanga, menyeberang Batang Sianok ketepi Air Kijang lebih kurang satu jam perjalanan kaki dari jalan raya Air Kijang suatu tempat yang sudah disediakan oleh saudara Masri dipinggir Batang Sianok. Sebelum rombongan meninggalkan Batang Tanga, datang kurir bapak Dahlan Jambek membawa surat untuk bapak M. Natsir yang menyatakan bahwa keputusannya bahwa beliau tidak akan turun dengan menyerah, akan tetapi beliau akan mengalihkan perjuangan dengan cara lain, beliau ingin ditangkap dimasukkan kedalam penjara dan selanjutnya diadakan sidang pengadilan.
        Sehari sesudah rombongan kami sampai ditepi Batang Sianok bapak M. Natsir mengirim saudara Masri menemui kolonel Dahlan Jambek dengan surat yang isinya supaya bapak Dahlan Jambek mengundurkan dulu maksudnya dan jangan dulu dikirim surat kepada panglima di Padang sampai bertemu dulu untuk diperkatakan lebih jauh.
          Sesampai dipos penjagaan desa Laring, lebih kurang setengah jam perjalanan menjelang tempat bapak Dahlan Jambek, sudara Masri disuruh pengawal menunggu karena ditempat bapak Dahlan Jambek sedang ada tamu. 
Setelah tamu itu kembali yaitu saudara Letnan Jamaan Salim dan saudara Lukman dari brimob, Keduanya adalah kemenakan bapak Dahlan Jambek. Setelah sampai ditempat pengawalan, maka saudara Masri dipersilakan terus, dan Jamaan Salim cs, meneruskan perjalanan ke Bukittinggi dengan membawa surat dari bapak Dahlan Jambek, untuk panglima di Padang dan tembusannya untuk komandan Korem 032/ Wirabraja di Bukittinggi.
            Jarak antara penjagaan dengan jalan raya Air Kijang sama dengan jarak ketempat bapak Dahlan Jambek yaitu setengah jam perjalanan, berarti disaat saudara Masri sampai ditempat bapak Dahlan Jambek, saudara Jamaan Salim sudah sampai dijalan raya untuk naik mobil ke Bukittinggi.
            Setelah surat bapak M. Natsir disampaikan dan dibaca, bapak Dahlan Jambek mengatakan, tidak mungkin lagi karena surat saya sudah dibawa tadi oleh Jamaan Salim yang saya suruh datang bersama Lukman untuk mengantarkannya kepada panglima dan komandan korem.
            Walaupun ketika itu dikejar kembali tidak mungkin lagi, karena untuk memburu kejalan raya harus satu jam perjalanan dan saudara Jamaan sudah naik mobil ke Bukittinggi.
Malamnya bapak Dahlan Jambek datang ketempat kami dan bicara dengan bapak M. Natsir, kepada beliau oleh bapak M. Natsir menganjurkan bagaimana kalau keputusan beliau itu ditinjau kembali.
        Dan beliau jawab “ tidak mungkin lagi, karena surat saya sudah saya sampaikan dan surat itu harus saya penuhi, kalau tidak saya penuhi akan berbahaya kepada bapak dan rombongan. Tenangkanlah hati bapak, kami perwira ini sportif, insayaAllah saya akan selamat sampai dipenjara di Bukittinggi ”.
            Pertemuan ini berlanjut sampai dekat subuh, ± jam 3.30 dini hari bapak Dahlan Jambek pamit dan waktu bersalaman dengan bapak M. Natsir beliau menangis sedu sedan tidak kurang 15 menit, baru beliau lepaskan tangan bapak M. Natsir dan beliau berangkat bersama Yusaki pengiring beliau.
            Pada tanggal 11 september 1961, datang saudara Djanamar Adjam dari Jakarta yang kebetulan pulang ke Bukittinggi, kerena dapat informasi di Bukittinggi bahwa kami dekat dan ada teman yang mengantarkan maka dia berhasrat untuk ikut merasakan dihutan walaupun sehari.
            Sempat saudara Djanamar Adjam sehari dan dua kali makan dengan kami dipondok menikmati sayur umbut batang langkok, dan mengambil foto dikomplek pondok dan ditepi Batang Sianok. Akan tetapi bermalam dikampung Aia Kijang untuk dapat menunggu mobil ke Bukittinggi.
            Malam itu sesudah isya dilaporkan kepada kami bahwa tadi si Gandi dengan pasukannya satu regu kombat datang dari Bukittinggi, terus ke Kumpulan dan berhenti sebentar di Aia Kijang dekat jalan masuk ke Laring.
            Besoknya tanggal 12 september 1961 jam 7.00 pagi kami terima laporan kedua, bahwa subuh tadi bapak Kolonel Dahlan Jambek bersama pembantunya Yusaki telah ditembak oleh pasukan yang dibawa oleh si Gandi.
            Pagi itu saudara Djanamar Adjam jika tidak dapat naik mobil pertama, tentu akan semobil dengan rombongan Gandi yang berangkat ke Bukittinggi dengan mobil kedua.
          Dari seorang pemuda Laring yang selalu mendampingi bapak Dahlan Jambek, ditempatnya kami dapat bercerita bahwa setiap malam sesudah bapak Dahlan Jambek mengirim surat kepada panglima di Padang dan tembusan kepada komandan korem 032/Wirabraja di Bukittinggi, beliau suruh tinggalkan sesudah tengah malam dengan pesan “tinggalkanlah kami dan jangan disembunyikan kepada siapapun, karena kami ingin ditangkap untuk diteruskan kedalam penjara. Kalau kami sudah dibawa adzanlah kalian dan doakan mudah-mudahan perjuangan kami berhasil”.
            “Pada pagi peristiwa itu terjadi, bapak Dahlan Jambek sesudah shalat subuh turun kehalaman dan langsung diberondong dengan tembakan sehingga jatuh, dan demikian pula dengan Yusaki. Karena pesan beliau bahwa beliau hanya akan ditangkap dan tidak akan ditembak, kami kira tembakan-tembakan itu hanya sekedar provokasi, kami keluar rumah untuk melepas bapak Dahlan Jambek dibawa. Akan tetapi, kami lihat beliau terkapar dan tidak bergerak, kami kembali kerumah masing-masing sampai rombongan penembak meninggalkan kampung kami. Setelah mereka pergi, kami keluar dan mengambil jenazah beliau segera, dan segera pula kami melaksanakan pemakamannya. Kami dapati semua barang-barang beliau dibawa penembak, tiada yang tinggal kecuali pakaian yang melekat dibadan, yaitu pakaian dalam dan sehelai kain sarung, semua kami kuburkan kecuali kain sarung yang kami simpan untuk peringatan”, Kata pemuda itu.
            Tiga hari setelah bapak Dahlan Jambek pergi, datang surat dari bapak kolonel Syarif Usman mengatakan “ bila bapak M. Natsir akan turun, harap memberi tahu kapan akan turun dan dimana turun supaya dapat kami atur penyambutannya”. Surat ini kami baca bersama-sama, spontan bapak M.Natsir mengatkan “tidak, kita tidak akan memberitahu kapan kita akan turun dan dimana turun, sebab:
1. Kalau kita beritahu dan dapat tercium oleh musuh, itu bapak Dahlan Jambek sudah jadi pelajaran bagi kita, kita akan binasa semua.
2. jika kita selamat sampai dikota, dan disambut sebagai yang dikatakan Syarif Usman ini, apa kata orang yang bapaknya, anaknya, adiknya, kakaknya tidak kembali? Kita tidak boleh menyinggung perasaan meraka.














Kita benar akan turun, tapi orang boleh tahu kita turun bila kita sudah Sampai dikota. Dimulailah merencanakan dimana kita akan turun. Ada fikiran untuk berjalan panjang dulu ke utara, dan turun dekat tempat turun bapak mister Syafrudin Prawira Negara. Cara ini terlalu berat, sebab tidak mungkin kita akan dapat bantuan dan petunjuk jalan, sebab semua orang sudah turun. Tinggal lagi dua alternatif, ke Palupuh atau ke Palembayan.
            Ke Palupuh terlalu jauh jaraknya dengan pos pertama, dan amat kemungkinan berbahaya ditengah jalan, apalagi daerah ini sudah menjadi incaran kelompok si Gandi. Akantetapi ke Palembayan pos pertama adalah Tantaman, didaerah ini banyak kawan-kawan kita yang baru turun yang akan segera tahu bahwa kita sudah turun. Akhirnya ditetapkan turun ke Tantaman, tinggal lagi kapan akan turun, sementara kita masih bekerja antara lain membuat laporan tentang korbannya bapak kol.Dahlan Jambek.
            Pada tanggal 19 september 1961 malam, datang Mak Nankodoh seorang tua penghubung didesa Kumpulan (Lungguk Batu) mengatakan “Bapak harus segera berangkat dari sini, tadi anak buah si Gandi mengatakan di Kumpulan (Lungguk Batu), “Dahlan Jambek sudah kami bunuh, nanti Natsir lagi, kami sudah tahu tempatnya, tidak jauh dari sini”. Maka kami tetapkan berangkat besok pagi tanggal 20 september 1961.
        Tanggal 20 september 1961 sesudah sarapan pagi, kami berangkat meninggalkan pondok dan menyeberang Batang Sianok  menuju daerah Tantaman, kec. Palembayan. sewaktu menyeberang air yang cukup deras itu, dengan mengunakan kalo-kalo(sehelai rotan manau yang di bentangkan diatas air) untuk tempat berpegang, lepas pegangan tangan bapak M. Natsir sehingga beliau harus berenang melawan arus, segera Masri dan Lahmuddin melompat dan membawa beliau keseberang.
Oleh karena bapak M. Natsir lelah sekali karena terjatuh dan terpaksa berenang melawan arus tadi, terpaksa kami istirahat agak lama diatas bukit kira-kira sampai dua jam, untuk memulihkan tenaga beliau.
Setalah kami berangkat Mak Nankodoh datang lagi men-cek apa kami sudah berangkat atau masih disana. Karena didapatinya sudah kosong dan dalam keadaan tidak porak-poranda dan dapur masih panas, yakinlah dia bahwa kami berangkat dengan baik, senanglah hatinya dan kembali pulang. Hal ini dikatakan nya ketika ke Bukittinggi yang pertama sekali sesudah itu.
            Dari bukit itu kami berangkat menuju Tantaman, tempat yang selama ini kami jadikan sebagai tempat pertemuan-pertemuan bila ada hal-hal yang perlu, baik diantara kami yang bertempat tinggal berbeda-beda dihutan Silungkang itu, maupun antara kami dengan teman-teman yang berada dikampung Tantaman dan Silungkang, dinamai tempat ini “Patamuan” karena tempat ini adalah pertemuan dua anak sugai.
            Sesudah shalat zuhur dan makan siang, kami berangkat lagi menuju Lubuk Gadang, suatu dusun perladangan daerah Tantaman. Kami sampai disana jam empat sore dan mendapati seseorang habis shalat ashar sesudah bekerja disawah. Orang itu kami tahan dulu, dan minta tolong membawa surat kami kepada komandan pos di Pakan Kamis (Tantaman) dan kepada Engku Datuak Iangik. Setelah selesai mandi dan tukar pakaian, kami berikan surat kepada orang itu, pertama kepada komandan pos yang mengatakan bahwa kami tujuh orang rombongan dari kementrian Agama dan P dan K republik persatuan indonesia, akan turun dibawah pimpinan Bukhari Tamam, dan kedua kepada Datuak langik kami memberitahukan bahwa kami turun dan tolong kirim utusan kepada keluarga di Bukittinggi untuk memberitahu.
            Dari jarak ±100M kami iringkan orang itu sampai ke Pakan Kamis. Begitu tentara pos keluar untuk menjemput kami sesudah mengirim surat, kami telah sampai di pintu pasar (pintu lokasi pos) berarti kami sudah berada di hadapan mata orang banyak. Langsung kami dibawa dan disuruh duduk di los Pakan Kamis, sedangkan kepala rombongan Engku Bukhari Tamam di persilakan masuk ke tempat komandan.
            Rupanya kepala rombongan dilayani dengan baik, diberi minum, sedangkan yang lain dibiarkan saja duduk dipelanta los, sehingga Bukhari tidak tega dan segera memberitahu kepada komandan pos bahwa orang tua berkaca mata itu adalah bapak M. Natsir.
Komandan pos itu seorang Kopral yang sudah berumur juga, berasal dari Jawa. Spontan dia menyatakan kepada bapak M. Natsir “ pak, saya dulu pernah menjadi pengawal bapak, waktu bapak jadi Mentri Penerangan di Jogya, sesudah itu sekaranglah baru saya bertemu dengan bapak”.
            Katanya lagi selanjutnya “ aduh pak, yang paling syukur sekarang ini adalah saya, hampir saja tangan saya ini berlumuran darah bapak dan rombongan. Tadi kami patroli ke Lubuk Gadang jam 1 sampai jam 2, dengan surat perintah harus menembak siapa saja yang keluar dari hutan tanpa ditanya, dan sebentar lagi jam 6 kami kembali patroli kesana degan perintah yang sama. “Dan Kalau saja bapak sampai di Lubuk Gadang antara jam 1 dan jam 2, tentulah bapak tidak ada lagi sekarang, saya bersyukur pak” katanya lagi.
            Rupanya inilah hikmah Bapak M. Natsir jatuh dari kalo-kalo waktu menyeberang Batang Sianok tadi, sehingga kami harus istirahat sampai 2 jam untuk memulihkan tenaga bapak. Sehingga kami baru sampai di Lubuk Gadang jam empat setelah patroli yang akan membawa maut telah kembali kedalam pos nya.
            Benarlah firman Allah dalam QS. Ath Talaq : 2 dan 3 :
“barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya dia (Allah) akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada di sangka-sangka.”

Penyerahan diri kami bulat-bulat kepeda Allah, dan niat baik dalam jihad karena Allah melepaskan kami dari bahaya dengan menjatuhkan bapak di kalo-kalo.
Ketika itu kami ingat  cerita Lukman Hakim yang akan berangkat kesatu negri, tapi terhalang karena anaknya jatuh ditangga dan patah tangannya. Kalau tidak terhalang dan sampai kenegri itu dia akan terlibat dalam bahaya penyakit tha’un yang berjangkit disana.
Setelah berbicara sekedarnya sambil minum kopi, kami dijemput dengan bis dari Palembayan dan terus kekantor komandan sektor Palembayan.
Komandan sektor pembantu  Letnan ………….(asal Padang Pajang ) menawarkan kepada bapak akan istirahat dulu disini atau terus ke Bukittinggi, jawab bapak M. Natsir karena kami telah kemari tentu lebih baik terus ke Bukittinggi, maka malam itu juga dengan mobil gas tentara, kami diantar oleh Komandan Sektor ke Bukittinggi, dan sampai ke kantin batalion jam 11.30 malam langsung diserah terimakan kepada komandan piket pengawal pada malam itu, dan kami dimasukkkan keruangan depan kantin / kantor batalion. Tidak lama datang seorang sersan (kepala seksi I batalion) memeriksa barang-barang kami, dan dengan kasar membentak-bentak tanpa bertanya dulu siapa rombongan ini, segala buku-buku isi tas kami dibawanya, karena dalam tas kami juga didapati kain-kain yang baik, dia berkata “dimana kalian curi ini semua, mana ada dalam hutan kain-kain yang seperti ini”. Kami diam sehingga dia berhenti bicara dan pergi dengan angkuhnya. Segala perlakuannya itu dilihat dan diperhatikan oleh pengawal dengan geram yang tahu siapa rombongan ini sesungguhnya.
Sesampai dihalaman dibisikkan oleh pengawal kepada sersan itu bahwa rombongan ini adalah rombongan bapak M. Natsir yang pernah jadi perdana mentri dulu. Rupanya timbul penyesalannya, lebih kurang setengah jam sesudah itu dia kembali dengan nafas sesak mengatakan “ bagaimana pak saya sudah keliling-keliling mencari kedai makanan, tetapi sudah tutup semua, apakah saya boleh pergi ketempat ibu, saya tahu tempatnya kalau-kalau ada yang dapat saya bawa.
Bapak diam, segera saudara Tasman menjawab silahkan dia pergi, dan tidak sampai 1 jam dia kembali lagi dengan menyandang sebuah kasur, menjinjing cerek dan sebuah bungkusan. Katanya “Pak, ibu sudah tidur dan tidak mungkin masak lagi, hanya ini yang dapat dikirim ibu”. Dengan berterima kasih kami terimalah kiriman Umi, sebuah kasur tempat tidur bapak, secerek air minum yang sudah dingin, sesisir pisang dan tujuh potong roti. Inilah reski kami malam itu dan kami makan penyambung isi perut yang kami isi waktu zuhur tadi di Patamuan.
Walapun segala dingin sekedar untuk penangkal lapar cukuplah kami nikmati tengah malam itu. Waktu subuh kami sudah terbangun kembali, tetapi terpaksa shalat subuh dengan tayamum karena pengawal tidak mau membuka pintu sebelum jam 6 pagi. Tepat jam 6 pintu dibuka dan kami dipersilahkan untuk ke kamar mandi, WC dan kekantin untuk minum pagi. Di kantin ini kami pertama kali serapan pagi dalam kota sesudah 3,5 tahun kami tinggalkan, kopi dan soto babat masakan Jawa.
 tanggal 21 september 1961, Kira-kira jam 8 pagi datang kapten Harmono komandan CPM dan sesudah bicara-bicara dengan bapak, maka kami diantar ke tempat Umi di Jambu Air (rumah Mak Gafar St. Parpatih) dengan ketentuan diberi istirahat tiga hari dan hari ke empat akan diproses sebagaimana mestinya. Dari sini kami diberitahu kepada keluarga masing-masing dan mereka berdatangan dari balingka, aur kuning, sungai buluh dan lain-lain. Dini hari tanggal 22 september 1961 jam empat kurang, rumah kami diketok, yang datang komandan CPM kapten Harmono menyatakan bahwa bapak Damanik bersama kapten Sitompul dengan surat perintah dari bapak A.H. Nasution dan bapak Syafrudin Prawira Negara, menjeput bapak kemari dan kami minta bapak datang kepenginapanya sekarag juga untuk pemeriksaan selanjutnya.
Berangkatlah bapak M. Natsir ditemani Tasman Mansyur dan Bukhari Tamam menemui bapak Damanik dan kapten Sitompul di hotel Grand di Kampung Cina. Kepada bapak M.Natsir dijelaskan oleh bapak Damanik dan kapten Sitompul, mereka diperintah untuk menjemput bapak M.Natsir sekiranya sudah turun, dan kalau belum turun cari kehutan, untuk itu dilengkapi satu pleton pasukan ABRI yang berasal dari Batalion Bonabolu (pasukan RPI di tapanuli selatan) syukur pak Natsir sudah turun sehingga kami tidak payah-payah masuk hutan. Dengan kedatangan bapak Damanik ini berobahlah rencana, istirahat yang tadi diberikan tiga hari ditiadakan, sementara bapak Damanik dan kapten Sitompul mengurus keberangkatan pak M. Natsir kepada panglima di Padang, rombongan kami diperiksa sehari penuh dimarkas CPM jalan benteng Bukittinggi. Masing-masing anggota rombongan diperiksa oleh seorang perwira CPM sedangkan pak Natsir duduk santai saja dengan kapten Harmono.
Pemeriksaan ini berakhir lebih kurang jam satu siang dengan berphoto bersama atas permintaan bapak M. Natsir. karena masing-masing kami berphoto dari empat jurusan sedangkan bapak tidak, maka beliau memprotes kepada kapten Harmono, kenapa semua orang ini diphoto sedangkan saya tidak, apa kurang saya dari orang-orang ini. Mendengar itu kapten Harmono minta kepada juru photo untuk membuat photo bersama, Bapak dan kapten Harmono duduk ditengah, sedangkan rombongan dan tim pemeriksa berbaris dibelakang, sayang photo itu tidak dapat kami lihat sampai sekarang.
Besok paginya tanggal 23 september 1961 jam 6 pagi, berangkatlah rombongan bapak M.Natsir bersama Engku Bukhari Tamam, Tasman Mansur, dan Ridwan dengan tiga buah mobil dari jambu air menuju Padang Sidempuan. Mobil pertama bapak M. Natsir dengan bapak Damanik dan kapten Sitompul dengan bendera biru dan lampu dinyalakan. Mobil kedua Engku Bhukari Tamam, Tasman Mansyur dan Ridwan, dan mobil ketiga sebuah bus dengan satu pleton pasukan pengawal. Sedangkan kami (M.S. Tk Suleman, Masri, dan Lahmuddin tinggal dijambu air bersama ummi dan anak-anak). Dari jambu air jam 6 pagi tanpa sarapan rombongan melaju nonstop dan dengan lampu besar yang dinyalakan sampai di Muara Sipongi. Sesampai di Muara Sipongi, kapten Sitompul menstop kendaraan dan mengatakan “ disini bapak silakan berhenti, makan, dan minum dulu, kita telah lepas dari daerah bahaya”. Hari itu juga rombongan samapai di Padang Sidempuan, sedangkan kami bertiga tinggal di Bukittinggi, dengan tugas pertama sebagai tepatan teman-teman yang untuk ini kepada MS Tk Suleman disuruh mencari tempat dengan rencana menggadaikan buku-buku, tapi pada hakikatnya tempat teman-teman basuo. Setelah sepuluh hari kami dijambu air, dan bapak di Sidempuan datang utusan membawa surat bapak dan titipan sebuah buku Capita Selecta jilid 2 untuk disampaikan kepada kapten Harmono. Sampai hari itu kami belum pernah keluar dari Jambu Air menjaga jangan terjadi hal-hal yang tidak dingini karena kami belum diberi surat apapun.
   Dengan membawa kiriman bapak M. Natsir itu, kami bertiga menghadap kapten Harmono dikantornya dijalan benteng. Kiriman bapak disambutnya dengan gembira dan rasa akrab dan minta kalau dapat dikirimi juga jilid satu.Kapten Harmono kaget sekali mendengar bahwa kami belum pernah keluar dari Jambu Air, walaupun rumah kami tidak jauh dari situ, karenanya ketika itu juga dia hubungkan kami dengan kodim supaya kami diberi surat keterangan agar kami tidak ragu-ragu pulang kerumah. Dengan mengantongi surat keterangan itu, masing-asing kami pulang kerumah masing-masing, Lahmuddin berangkat ke Sitalang dan Masri berangkat ke Air Kijang. Dan dengan itu berakhirlah masa uzlah total dan permulaan masa ber pirace.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar